kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, kenbah Mandalawangi. kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin) Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat. (lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
BahkanSoe Hok Gie secara khusus membuat puisi tentang Pangrango dan Mandalawangi, yang sebagian bunyinya : Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi, Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada, Hutanmu adalah misteri segala Soe Hok Gie. Pesona Mandalawangi semakin mencengkeram para pemujanya karena di lembah ini terhampar
Puisi"Mandalawangi - Pangrango" by Soe Hok GiePembaca Puisi by Afrilia UtamiCreative Video by Lulu IlmaknunSumber gambar: googleDisclaimer: Video non komersial
Darisana Anda bisa turun sedikit untuk segera sampai dihamparan indah Mandalawangi. Setibanya di sana, kisah dan puisi Soe Hok Gie langsung bisa Anda rasakan dan cobalah ulang lagi bacakan puisi cinta Soe Hok Gie untuk Pangrango seperti berikut ini: Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Vay Tiền Nhanh Ggads. detikTravel Community - Gunung Pangrango adalah bagian perjalanan hidup Soe Hok Gie. Dia menulis puisi tentang Pangrango dengan kata-kata dan rima yang penuh penghayatan. Gunung ini pun mampu membuat Soe Hok Gie terpesona, bagaimana dengan Anda?Kutipan puisi Soe Hok Gie yang dibuat pada tahun 1966 seolah menghipnosisku untuk bermimpi, suatu hari nanti saya akan menginjakkan kaki di Gunung Pangrango. Saya akan berdiri di sebuah hamparan padang luas Mandalawangi yang bertaburan bunga Pangrango yang merupakan satu rangkaian dengan Gunung Gede memiliki beberapa jalur pendakian. Jalur-jalurnya adalah Jalur Cibodas, Jalur Putri, dan Jalur Salabintana. Jika melalui pintu utama Jalur Cibodas, kita akan dimanjakan dengan beragam satwa dan tumbuhan. Serta, keindahan Danau Telaga Biru dan eksotisnya jalur air Gede-Pangrango telah menjadi gunung favorit bagi sebagian pendaki. Selain medannya yang tidak terlalu sulit, di sana juga berlimpah air sepanjang rute perjalanan. Tapi Puncak Pangrango lebih jarang didaki, mungkin karena medannya yang lebih sulit. Membuat jalur menuju puncak Pangrango terlihat tampak lebih bersih ketimbang jalur menuju Puncak dan lelah menyatu, tapi puisi itu seolah menyemangatiku untuk bisa sampai di Mandalawangi. Selangkah demi selangkah kutapaki jalan hutan menuju Puncak akhirnya, saya tiba di sebuah patok yang terbuat dari semen setinggi kurang lebih 1,5 meter yang sering disebut trianggulasi, itulah Puncak Pangrango. Dari situ, saya mengarah turun sedikit untuk segera sampai dihamparan indah Mandalawangi. Tak sabar rasanya!Setibanya di sana, kisah dan puisi Soe Hok Gie langsung terngiang di kepala. Tanpa terasa, setitik air mata pun jatuh. Inilah refleksi dari rasa syukur saya berada di satu tempat yang diimpikan. Terimakasih Tuhan atas kesempatan indah ini dan saya pun merindukan Mandalawangi cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepiSungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiadaHutanmu adalah misteri segalaCintamu dan cintaku adalah kebisuan semestaMalam ini ketika dingin dan kebisuanMenyelimuti MandalawangiKau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua"Hidup adalah soal keberanianMenghadapi yang tanda tanyaTanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawarTerimalah, hadapilah"Dan di antara ransel-ransel kosongDan api unggun yang membaraAku terima itu semuaMelampaui batas-batas hutanmuMelampaui batas-batas jurangmuAku cinta padamu PangrangoKarena aku cinta pada keberanian hidupJakarta 19-7-1966Soe Hok Gie
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmuaku datang kembalike dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmuWalaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan gunaaku bicara padamu tentang cinta dan keindahandan aku terima kau dalam keberadaanmuseperti kau terima dakuAku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepisungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiadahutanmu adalah misteri segalacintamu dan cintaku adalah kebisuan semestaMalam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangikau datang kembalidan bicara padaku tentang kehampaan semua“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya“tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawarterimalah dan hadapilahDan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membaraaku terima ini semuamelampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmuAku cinta padamu Pangrangokarena aku cinta pada keberanian hidupJakarta 19-7-1966
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah puisi Soe Hok-Gie, berapa puisi yang sudah dipublikasikan, belum dipublikasikan, atau apakah puisi hanya menjadi selingan dari catatan hariannya. Ada kabar menyebutkan bahwa sajak dan puisi karya Soe Hok-Gie jumlahnya mencapai puluhan judul dan ada kabar yang menyebutkan pula sajak-sajak tersebut kini dalam proses penyusunan untuk dijadikan sebuah buku kecil. Hal ini wajar karena Soe Hok-Gie memang akrab dengan berbagai penyair seperti Taufik Ismail, WS Rendra maupun Satyagraha Hoerip. Di sini kami hanya memberikan cuplikan beberapa judul puisi Soe Hok-Gie, sebagai berikut 1. Kepada Pejuang-Pejuang Lama Soe Hok-Gie, 1965 Kepada Pejuang-Pejuang Lama Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang padahal pelaut-pelaut lain takut kau tentu masih ingat suara-suara di belakang… “mereka gila” Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita Mungkin kita ragu sebentar ya, kita yang dahulu membina Kapal tua ini Di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana… Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru. Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya. Ayo. Laut masih luas. dan bagi pemberontak-pemberontak Tak ada tempat di kapal ini”. *teks sudah disesuaikan dengan EYD 2. Sebuah Tanya Soe Hok-Gie, 1 April 1969 Sebuah Tanya Akhirnya semua akan tiba Pada suatu hari yang biasa Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui Apakah kau masih berbicara selembut dahulu Memintaku minum susu dan tidur yang lelap? Sambil membenarkan letak leher kemejaku kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendalawangi kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya Kau dan aku berbicara Tanpa kata, tanpa suara Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita Apakah kau masih akan berkata Kudengar derap jantungmu Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta hari pun menjadi malam Kulihat semuanya menjadi muram Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara Dalam bahasa yang kita tidak mengerti Seperti kabut pagi itu Manisku, aku akan jalan terus Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru. 3. Tentang Kemerdekaan Tentang Kemerdekaan Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir, kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah dan adik-adikku di belakang tapi satu tugas kita semua. menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis ….. Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar Kita adalah alat dari derap kemajuan semua; Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup Seperti juga perjalanan di sisi penjara Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita Adalah manusia merdeka Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas. Soe Hok-Gie 4. Mandalawangi-Pangrango Mandalawangi-Pangrango Sendja ini, ketika matahari turun Ke dalam djurang-djurang mu Aku datang kembali ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu dan dalam dinginnya walaupun setiap orang berbitjara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang tjinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku aku tjinta padamu. Pangrango jang dingin dan sepi sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada hutanmu adalah misteri segala tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta malam itu ketika dingin dan kebisuan menjelimuti Mandalawangi kau datang kembali dan bitjara padaku tentang kehampaan semua “hidup adalah soal keberanian. Menghadapi jang tanda tanja Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar Terimalah, dan hadapilah” Dan antara ransel-ransel kosong Dan api unggun jang membara Aku terima itu semua Melampaui batas-batas hutanmu. Melampaui batas-batas djurangmu Aku tjinta padamu Pangrango Karena aku tjinta pada keberanian hidup. 5. Pesan Nukilan penting dalam puisi Soe Hok-Gie dari Sinar Harapan, 18 Agustus 1973, yang berjudul Pesan’, sebagai berikut. Pesan Hari aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaan Dan demokrasi Dan bercita-cita Menggulingkan tiran Aku mengenali mereka Yang tanpa tentara Mau berperang melawan diktaktor Dan yang tanpa uang Mau memberantas korupsi Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini? 6. Hidup Soe Hok-Gie, 5 Januari 1962 Hidup Terasa pendeknya hidup memandang sejarah Tapi terasa panjangnya karena derita Maut, tempat penghentian terakhir Nikmat datangnya dan selalu diberi salam. 7. Puisi Soe Hok-Gie Lainnya Dan beberapa puisi Soe Hok-Gie lainnya yang tak diberi judul yang bisa kita lihat dalam buku catatan hariannya atau dalam beberapa buku yang mengupas Soe Hok-Gie. “Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya. Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai.” “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi jang tanda tanja, tanpa bisa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar, terimalah dan hadapilah” Soe Hok-Gie
Almarhum Rudy Badil pernah bercerita. Suatu hari Soe Hok Gie mengajak seorang adik kelas yang dia pacari untuk berkemah di Mandalawangi sebuah lembah di bawah puncak Gunung Pangrango bersama kawan-kawan Soe lain-nya. Sebagai sahabat, Rudy tentu saja gembira. Dia kemudian “mengondisikan” agar Soe bisa terus berdua-dua-an dengan sang kekasihnya tersebut, termasuk mengupayakan agar mereka berada dalam satu tenda saat malam tiba. Semua kawan-kawan Soe mendukung ide Rudy itu. Paginya Rudy langsung menarik Soe Hok Gie ke tempat agak sepi. Sambil tersenyum nakal, Rudy menanyakan apa yang dilakukan Soe bersama sang pacar selama tidur setenda tadi malam. Soe menatap Rudy sembari tersenyum kecil. “Enggak ada, gue enggak melakukan apapun selain tidur…” jawab Soe. “Jadi lu kagak apa-apain dia? Lu cium , gitu?” tanya Rudy dalam nada kaget. “Ya enggaklah, gue aja tidur-nya agak jauh-jauhan dari dia…” Pada akhirnya Rudy mafhum, Soe Hok Gie bukanlah lelaki kebanyakan. Kendati dia seorang yang sangat galak saat mengeritik kekuasaan dan nekat ketika menjadi seorang demonstran dia pernah membaringkan diri di hadapan tank baja yang sedang melaju dalam suatu demonstrasi menentang Presiden Sukarno, namun mengenai cinta, dia benar-benar seorang pemalu dan agak puritan. Rudy yakin Soe Hok Gie memang mencintai perempuan itu. Begitu juga sebaliknya. Namun bagi lelaki Tinghoa tersebut, cinta bukanlah soal saling membutuhkan namun lebih dari itu ada saling pengertian, tanggungjawab dan kemerdekaan menyatakan keinginan, termasuk keinginan untuk mencintai itu sendiri. Soal terakhir itu memang menjadi masalah buat Soe, mengingat hubungan mereka yang tak direstui orangtua sang gadis. “Mereka selalu dihalangi untuk bertemu…” kenang Arief Budiman kakak Soe Hok Gie dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Demosntran catatan harian Soe Hok Gie. Soe bukannya tidak berupaya meyakinkan orangtua sang gadis. Menurut Arief, sudah beberapa kali Soe bicara dengan ayahnya, seorang pengusaha kaya di Jakarta. Sebagai seorang yang tidak setuju dengan berbagai ketidakberesan di Indonesia saat itu, ayah sang gadis menyatakan kekagumannya kepada Soe Hok Gie yang selalu berani melakukan kritik di koran-koran terhadap para pejabat yang dianggap tidak benar. “Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya…” curhat Soe kepada Arief. Keresahan Soe semakin bertambah saat dia sendiri tak melihat ketegasan hati dari sang kekasih. Mungkin karena usianya masih muda dan sudah terbiasa hidup nyaman, sang kekasih tak memiliki keberanian untuk melawan pendirian orangtuanya itu. “Saya katakan bahwa soal ini soal berat, karena ia harus bertempur sendirian di rumah. Kalau ia tak berani bertempur untuk hal tadi maka soalnya menjadi sulit. I can only give my support. Kemungkinan kedua adalah kita memutuskan hubungan sebelum semuanya berkembang menjadi terlalu jauh…” tulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya bertanggal 4 April 1969. Takdir memutuskan keduanya memilih mengkandaskan hubungan cinta mereka. Karena merasa sudah terlambat untuk menjadi “dua sahabat”, keduanya lantas sepakat untuk saling menjauhkan diri. “Si Gie pastinya sedih. Walau dia tak ngomong apa-apa ke gue, tapi gue tau pada hari-hari itu dia sedih,” kenang Rudy. Soe Hok Gie bisa jadi tak memiliki kawan yang banyak untuk dia curhati. Namun dia memiliki buku harian yang senantiasa “setia mendengar keluhannya”. Pada awal April 1969, sejatinya Soe telah menulis Sebuah Tanya, satu puisi yang menyatakan perasaan terakhir-nya untuk sang kekasih. akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. apakah kau masih berbicara selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku. kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi. kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin apakah kau masih membelaiku selembut dahulu ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat. lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita apakah kau masih akan berkata kudengar derap jantungmu kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti seperti kabut pagi itu manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru. “Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali. Tetapi saya tak menjadi emosional. Saya pikir, saya jauh lebih tenang dan dewasa,” tulis Soe dalam catatan hariannya bertanggal 5-6 April 1969. Sejarah mencatat, keduanya memang tak pernah tersatukan. Soe gugur di Puncak Mahameru pada 16 Desember 1969 sedangkan sang kekasih beberapa tahun kemudian menikah dengan lelaki lain dan tinggal di luar negeri hingga kini.
puisi soe hok gie mandalawangi